VISI SURVEILAN DINKES TASIKMALAYA

MENJADI SDM SURVEILAN YANG PROFESIONAL DAN BERDEDIKASI TINGGI

Sunday 26 December 2010

FLU BURUNG MENYEBAR DI JEPANG

Awas, Flu Burung Mulai Menyebar di Jepang!
Jepang mencatat sejumlah kasus baru penderita yang terinfeksi virus flu burung.
Sesuai dengan laporan televisi NHK Jepang, kantor kesehatan kota Izumi, barat daya Jepang mengkonfirmasikan adanya sejumlah kasus penderita flu burung di kota ini.
Para pejabat kesehatan kota Izumi mengumumkan, menyusul uji laboratorium pada bangkai 12 burung yang mati menunjukkan dua bagian dari mereka tewas akibat terinfeksi virus flu burung.
Bertambahnya dua kasus baru membuat jumlah keseluruhan kasus terinfeksi virus flu burung menjadi delapan kasus.
Awal bulan ini kota Izumi mencatat ada 6 kasus terinfeksi lewat virus flu burung. (IRIB/SL/PH)
  More arti

Saturday 11 December 2010


Flu Burung/AI sampai saat ini masih menjadi masalah global maupun nasional. Sejak tahun 2003 sampai sekarang 31 dari 33 Provinsi di Indonesia telah dilaporkan tertular FB/AI, sedangkan pada manusia sejak Juni 2005 sampai dengan Agustus 2010 sudah dilaporkan ke WHO 167 kasus dengan jumlah kematian 139. Case Fatality Rate (CFR 83,23 %) yang tersebar di 13 Provinsi. Penemuan kasus AI pada manusia paling tinggi ditemukan : di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 46 kasus konfirmasi 39 diantaranya meninggal dunia, di Provinsi Jawa Barat sampai september 2010 sebanyak 41 kasus konfirmasi 36 diantaranya meninggal dunia yang tersebar di 14 Kabupaten/Kota.
Untuk mengantisipasi penyebaran yang tidak terkendali dan tidak terduga, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat telah mensosialisasikan tatalaksana Flu Burung di masyarakat dan telah melatih ± 2300 petugas puskesmas (Tiap puskesmas diwakili 2 orang petugas kesehatan). Melalui upaya pemantauan yang intensif terhadap perubahan sifat dan strain virus H5N1 sesuai Internasional Health Regulation (IHR 2005) dapat diamati melalui tanda-tanda atau sinyal epidemiologi, dan sinyal virologis sebagai konfirmasi telah terjadinya episenter pandemi.
Untuk meningkatkan sistim Surveilans penyakit Flu Burung yang berhubungan dengan hewan di komunitas masyarakat, Ministry Of Agriculture (MOA) telah mengembangkan Surveilans penyakit yang berhubungan dengan hewan dan respon melalui pendekatan partisipasi yang dinamakan Participatory Disease Surveilance and Response (PDSR). Petugas PDSR diperkerjakan ditingkat Kabupaten/Kota dan bekerja dekat dengan komunitas masyarakat. Dengan mengadaptasikan PDSR, Kementerian dalam negeri telah mengembangkan dan meluncurkan petugas District Surveilance Officers ( DSO) yang bertujuan untuk bekerja sama dengan petugas PDSR dalam hal berbagi informasi pemberantasan Flu Burung di masyarakat. Usaha ini dipercaya dapat mendeteksi secara dini adanya tersangka kasus Flu Burung pada masyarakat yang berisiko tinggi melalui pendekatan pendekatan partisipasi dan pencarian kasus secara aktif. Pengenalan lebih cepat pada tersangka Flu Burung sangat penting untuk pengobatan lebih cepat dan untuk mendapatkan keefektifitasan anti virus.
Pada tanggal 30 Agustus 2010 di Hotel Perdana Wisata telah dilaksanakan sosialisasi Flu Burung kepada Organisasi Profesi Wilayah Jawa Barat antara lain Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia ( PPNI) dengan pembicara dr. Vason dan dr. Marlinggom dari World Health Organization (WHO), Subdit Zoonosis Kementerian Kesehatan, Dinas Peternakan dan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat dengan sumber dana berasal dari bantuan WHO Italia.
WHO berharap setelah dilaksanakannya pertemuan ini organisasi profesi dapat mensosialisasikan tatalaksana penanggulangan FB/AI serta berperan dalam penanggulangan FB/AI dengan mengenali kasus (Early Diagnosis), penatalaksanaan kasus, rujukan kasus, melaporkan kasus serta menanggapi kasus.
Untuk itu, dalam upaya mencegah terjadinya kematian akibat penyakit Flu Burung, Puskesmas sebagai ujung tombak dalam pelayanan kesehatan pada masyarakat perlu disiagakan dengan menempatkan obat anti Oseltamivir guna pengobatan dini terhadap suspek/tersangka Flu Burung.
Ini merupakan Pertemuan lanjutan yang dilaksanakan tanggal 31 agustus 2010 di Hotel perdana Wisata kerjasama dinas Kesehatan dengan Organisasi Profesi  ( IDI, PPNI) wilayah jawa Barat dan sejauhmana  Peranan Organisasi profesi dalam penanganan  Avian Influenza (H5N1). Jawa Barat merupakan pelintasan pemasok ternak terutama Ayam  ke Jakarta untuk itu Dinas Peternakan sudah melakukan strategi untuk menekan/meniadakan resiko timbulnya AI pada unggas seperti Pengendalian transportasi unggas dan produk asal unggas, Biosekuriti ketat pada semua aspek manajemen peternakan, Vaksinasi dengan menggunakan vaksin yang berkualitas dan melihat dinamika virus AI Indonesia, Mengembangkan pasar tradisional yang higienis, Sosialisasi dengan metoda yan mudah diterima dan dapat diterapkan oleh masyarakat (KIE), Pola hidup sehat dan bersih dll.
Jawa Barat merupakan wilayah yang potensial dalam penyebaran AI Pada unggas,  karena   Populasi unggas tinggi dengan rapid test positif tapi tidak ada penularan pada manusia, kasus suspek sampai September 2010 di Jawa Barat sebanyak 6 kasus, 2 diantaranya meninggal dan tidak ada kontak.
Penyebaran geografik penderita ’’Flu Burung’’ pada manusia  di Indonesia tahun 2010 kasus konfirmasi 6 kasus meninggal 5  yang tersebar di 5 Provinsi antaralain  DKI Jakarta 2/2, Banten 1/1, Riau 1/1, Jateng 1/1, Jatim 1/0.
Kebanyakan pasien mencari pertolongan pertama ke klinik / praktek swata à Shopping Treatment akhirnya kasus terlambat diketahui (± 6 hari) —- CFR tinggi (dr. Vason dan dr. Marlinggom) dari WHO.
Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat.
Breaking News: “Sebelumnya pada Selasa (9/11) Kementerian Haji Arab Saudi memberitakan seorang perempuan asal Eopa, 26 th, dan seorang wanita lainnya, 56th, asal Asia Selatan positif terkena flu A H1N1. Seorang yang lain, pria asal Afrika, 41th terkena kolera. Kedua pasien flu burung saat ini dirawat di rumah sakit. Sementara satu yang lain sudah dapat keluar dari rumah sakit.”
Influenza A (H1N1) virus is a subtype of influenza A virus and was the most common cause of human influenza (flu) in 2009. Some strains of H1N1 are endemic in humans and cause a small fraction of all influenza-like illness and a small fraction of all seasonal influenza. H1N1 strains caused a few percent of all human flu infections in 2004–2005.[1] Other strains of H1N1 are endemic in pigs (swine influenza) and in birds (avian influenza).
In June 2009, the World Health Organization declared the new strain of swine-origin H1N1 as a pandemic. This strain is often called swine flu by the public media. This novel virus spread worldwide and had caused about 17,000 deaths by the start of 2010. On August 10, 2010, the World Health Organization declared the H1N1 influenza pandemic over, saying worldwide flu activity had returned to typical seasonal patterns.[2]

The 1976 swine flu outbreak, also known as the swine flu fiasco,[1] or the swine flu debacle, was a strain of H1N1 influenza virus that appeared in 1976. Infections were only detected from January 19 to February 9, and were not found outside Fort Dix.[2] The outbreak is most remembered for the mass immunization that it prompted in the United States. The strain itself killed one person and hospitalized 13.[citation needed] However, side-effects from the vaccine caused five hundred cases of Guillain–Barré syndrome and 25 deaths.[3][4]


Penyakit flu burung atau flu unggas (Bird Flu, Avian Influenza) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dan ditularkan oleh unggas. Flu Burung adalah penyakit influenza pada unggas, baik burung, bebek, ayam, serta beberapa binatang yang lain seperti babi. Data lain menunjukkan penyakit ini bisa terdapat burung puyuh dan burung onta.

Penyakit ini menular dari burung ke burung, tetapi dapat juga menular ke manusia. Penyakit ini dapat menular lewat udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran atau sekreta burung atau unggas yang menderita influenza. Sampai saat ini belum terbukti adanya penularan dari manusia ke manusia. Penyakit ini terutama menyerang peternak unggas ( penyakit akibat kerja ).

 Epidemiologi
Penyebaran penyakit flu burung jelas melintasi batas negara; tetapi walau mewabah di benua Asia, penyakit ini merupakan penyakit eksotis (belum pernah ada ) di Indonesia.
Penyakit yang menjangkiti pekerja atau orang yang hidup di lingkungan peternakan unggas ini merupakan penyakit mematikan. Penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus avian infuenza jenis H5N1 pada unggas dikonfirmasikan telah terjadi di Korea Selatan, Vietnam, Jepang, Hongkong, Belanda, Thailand, Kamboja, Taiwan, Laos, China, Pakistan dan Indonesia. Sumber virus diduga berasal dari migrasi burung dan transportasi unggas yang terinfeksi.
Jalur Pantura-Indonesia, khususnya Kabupaten Indramayu bisa saja termasuk daerah terjangkit virus penyebab penyakit flu burung karena wilayah udaranya selama ini menjadi jalur
lalu lintas jutaan burung setiap pergantian musim. Burung dari Australia atau Eropa, dalam perjalanan migrasinya yang menempuh ribuan kilometer, mengambil kepulauan Rakit
sebagai tempat peristirahatan atau transit. Pulau Rakit Utara, Gosong dan Rakit Selatan atau Pulau Biawak menjadi tempat persinggahan jutaan ekor burung yang tinggal cukup lama, 2 -
2,5 bulan, bereproduksi, kawin dan banyak yang sampai menetaskan telurnya.

Pada Januari 2004, di beberapa propinsi di Indonesia terutama Bali, Botabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Barat dan Jawa Barat dilaporkan kejadian kematian ayam ternak yang luar biasa. Awalnya kematian tersebut disebabkan oleh virus NewCastle, namun konfirmasi terakhir oleh Departemen Pertanian disebabkan oleh virus flu burung / Avian influenza (AI). Jumlah unggas yang mati akibat wabah penyakit flu burung di 10 propinsi di Indonesia sangat besar yaitu 3.842.275 ekor (4,77%); paling tinggi di propinsi Jawa Barat (1.541.427 ekor).

Kehebohan bertambah ketika wabah tersebut menyebabkan sejumlah manusia juga meninggal.
Pada 19 Januari 2004, pejabat WHO mengkonfirmasikan lima warga Vietnam tewas akibat flu burung.Sementara itu di negara Thailand sudah enam orang tewas akibat terserang flu burung, seorang anak berusia 6 tahun dipastikan menjadi orang Thailand pertama yang dikonfirmasi tewas akibat wabah tersebut. Epidemiologist dari Pusat Pengawasan Penyakit - Dr. Danuta Skowronski, mengatakan bahwa80% kasus flu burung menyerang anak-anak dan remaja.
Tingkat kematian akibat flu burung sangat tinggi. Di Vietnam, WHO menemukan bahwa 8 dari 10 orang yang terinfeksi meninggal, seorang sembuh dan seorang lagi dalam kondisi kritis.Jika dibandingkan dengan SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) flu burung ini lebih sedikit kasusnya ; hanya dilaporkan 25 kasus di seluruh dunia dan yang meninggal 19 orang (Case Fatality Rate CFR=76%).

Sedangkan pada penyakit SARS dari 8098 kasus yang meninggal hanya 774 orang (CFR = 9,6%).Penelitian sementara (serosurvei) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan Dirjen P2MPLP, Depkes RI pada tanggal 1-3 Februari 2004 di sejumlah wilayah Indonesia Kabupaten Tangerang - Banten dan Kabupaten Tabanan & Karang Asem - Bali) belum menemukan kasus flu burung pada manusia. Melihat kenyataan ini seyogyanya masyarakat tidak perlu panik dengan adanya kasus flu burung di Indonesia, tetapi tetap waspada, terutama bagi kelompok yang berisiko karena di
negara lain virus ini telah menginfeksi manusia.
 Sumber: dari berbagai sumber

Tuesday 26 October 2010

Basic Information about HIV and AIDS

What are HIV and AIDS?
Scanning electron microscope image of HIV virons on CD4 lymphocytes.
Electron microscope image of HIV, seen as small spheres on the surface of white blood cells.

HIV is the human immunodeficiency virus. It is the virus that can lead to acquired immune deficiency syndrome, or AIDS. CDC estimates that about 56,000 people in the United States contracted HIV in 2006.

There are two types of HIV, HIV-1 and HIV-2. In the United States, unless otherwise noted, the term “HIV” primarily refers to HIV-1.

Both types of HIV damage a person’s body by destroying specific blood cells, called CD4+ T cells, which are crucial to helping the body fight diseases.

Within a few weeks of being infected with HIV, some people develop flu-like symptoms that last for a week or two, but others have no symptoms at all. People living with HIV may appear and feel healthy for several years. However, even if they feel healthy, HIV is still affecting their bodies. All people with HIV should be seen on a regular basis by a health care provider experienced with treating HIV infection. Many people with HIV, including those who feel healthy, can benefit greatly from current medications used to treat HIV infection. These medications can limit or slow down the destruction of the immune system, improve the health of people living with HIV, and may reduce their ability to transmit HIV. Untreated early HIV infection is also associated with many diseases including cardiovascular disease, kidney disease, liver disease, and cancer. Support services are also available to many people with HIV. These services can help people cope with their diagnosis, reduce risk behavior, and find needed services.

AIDS is the late stage of HIV infection, when a person’s immune system is severely damaged and has difficulty fighting diseases and certain cancers. Before the development of certain medications, people with HIV could progress to AIDS in just a few years. Currently, people can live much longer - even decades - with HIV before they develop AIDS. This is because of “highly active” combinations of medications that were introduced in the mid 1990s.

No one should become complacent about HIV and AIDS. While current medications can dramatically improve the health of people living with HIV and slow progression from HIV infection to AIDS, existing treatments need to be taken daily for the rest of a person’s life, need to be carefully monitored, and come with costs and potential side effects. At this time, there is no cure for HIV infection. Despite major advances in diagnosing and treating HIV infection, in 2007, 35,962 cases of AIDS were diagnosed and 14,110 deaths among people living with HIV were reported in the United States.

Thursday 21 October 2010

DIFTERI


Penyakit Difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphteri. Terdapat 3 tipe yaitu: mitis, intermedius, dan gravis. Masa inkubasi antara 2-5 hari, masa penularan penderita  2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carrier bisa sampai 6 bulan.
Gambaran klinis: demam 38 , pseudomembranputih ke abu-abuan yang tak mudah lepas dan mudah berdarah di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak seperti leher sapi (Bullneck) dan sesak napas disertai stridor. Diagnosis pasti jika didapatkan kuman difteri yang dilakukan melalui specimen apusan tenggorok (throat swab) yang di biakan.
Sumber penularan adalah manusia, baik sebagi penderita maupun sebagai carrier. Penyebaran melalui droplet infection dan difteri kulit yang mencemari tanah. Kekebalan diperoleh karena menderita sakit atau mendapat imunisasi. Kekebalan yang tinggi secara aktif melalui imunisasi DPT.
LANGKAH PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI (PE)
a.      Dasar: adanya kasus tersangka Difteri segera lakukan PE
b.      Tujuan: penegakan diagnosis, mengetahui besaran kasus, identifikasi factor resiko, investigasi kasus lain, penentuan arah pencegahan dan penaggulangan.
c.       Langkah Penyelidikan: Koordinasi melalui Tim Investigasi, siapkan administrasi, pengumpulan data
d.      Pengolahan dan penyajian data
e.      Analisa data
f.        Membuat laporan hasil penyelidikan.

Sunday 17 October 2010

FILARIASIS

Di Indonesia berdasarkan survei tahun 2000-2004 terdapat lebih dari 8000 orang menderita klinis kronis Filariasis (Elephantiasis) yang tersebar di seluruh propinsi. Secara epidemiologi terindikasi lebih dari 60 juta penduduk Indonesia berada di daerah yanmg beresiko tinggi.
Perkembangan klinis Filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap parasit, seringnya mendapat gigitan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur.
Pada dasarnya perkembangan klinis Filariasis tersebut disebabkan oleh karena cacing dewasa yang tinggal dalam saluran limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe bukan penyumbatan (obstruksi), sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik.
GEJALA KLINIS

Terdiri dari gejala klinis Akut dan Kronis.
Akut: berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis, yang disertai demam, sakit kepala, lemah dan timbulnya abses.
Kronis: Limfedema, lym scrotum, kiluria, dan hidrokel.
TATALAKSANA KASUS KLINIS FILARIASIS
A. Pengobatan Kasus Klinis
Setiap kasus klinis di daerah endemis atau non endemis mendapatkan pengobatan:
1. Diberikan DEC 3x1 tab 100 mg selama 10 hari berturut-turut.
2. Apabila penderita berada di daerah endemis, maka pada tahun berikutnya baru boleh diikutsertakan dalam pengobatan massal dengan DEC, albendazol dan parasetamol sekali setahun, minimal 5 tahun secara berturut-turut. Penderita yang tinggal di daerah non endemik tidak melaksanakan pengobatan massal.
B. Perawatan Kasus klinis
1. Gejala  Klinis Akut: Istirahat yang cukup, banyak minum, pembersihan luka, dean mengatasi symtomatiknya.
2. Gejala Kronis: perawatan kasus dilakukan berdasarkan kondisi medis masing-masing kasus.
PECATATAN & PELAPORAN
a. Perekaman Status
b. Pemeriksaan Kemajuan Perawatan.
c. Pencatatan dan Pelaporan Data Kasus Filariasis

Thursday 7 October 2010

CHIKUNGUNYA

Chikungunya is a mosquito-borne viral disease first described during an outbreak in southern Tanzania in 1952. It is an alphavirus of the family Togaviridae. The name ‘chikungunya’ derives from a root verb in the Kimakonde language, meaning "to become contorted" and describes the stooped appearance of sufferers with joint pain.
Signs and symptoms

Chikungunya is characterized by an abrupt onset of fever frequently accompanied by joint pain. Other common signs and symptoms include muscle pain, headache, nausea, fatigue and rash. The joint pain is often very debilitating, but usually ends within a few days or weeks. Most patients recover fully, but in some cases joint pain may persist for several months, or even years. Occasional cases of eye, neurological and heart complications have been reported, as well as gastrointestinal complaints. Serious complications are not common, but in older people, the disease can contribute to the cause of death. Often symptoms in infected individuals are mild and the infection may go unrecognized, or be misdiagnosed in areas where dengue occurs.
Transmission

The virus is transmitted from human to human by the bites of infected female mosquitoes. Most commonly, the mosquitoes involved are Aedes aegypti and Aedes albopictus, two species which can also transmit other mosquito-borne viruses, including dengue. These mosquitoes can be found biting throughout daylight hours, although there may be peaks of activity in the early morning and late afternoon. Both species are found biting outdoors, but Ae. aegypti will also readily feed indoors.

After the bite of an infected mosquito, onset of illness occurs usually between four and eight days but can range from two to 12 days.
Diagnosis

Several methods can be used for diagnosis. Serological tests, such as enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA), may confirm the presence of IgM and IgG anti-chikungunya antibodies. IgM antibody levels are highest three to five weeks after the onset of illness and persist for about two months. The virus may be isolated from the blood during the first few days of infection. Various reverse transcriptase–polymerase chain reaction (RT–PCR) methods are available but are of variable sensitivity. Some are suited to clinical diagnosis. RT–PCR products from clinical samples may also be used for genotyping of the virus, allowing comparisons with virus samples from various geographical sources.
Treatment

There are no specific drugs to cure the disease. Treatment is directed primarily at relieving the symptoms, including the joint pain. There is no commercial chikungunya vaccine.
Prevention and control

The proximity of mosquito vector breeding sites to human habitation is a significant risk factor for chikungunya as well as for other diseases that these species transmit. Prevention and control relies heavily on reducing the number of natural and artificial water-filled container habitats that support breeding of the mosquitoes. This requires mobilization of affected communities. During outbreaks, insecticides may be sprayed to kill flying mosquitoes, applied to surfaces in and around containers where the mosquitoes land, and used to treat water in containers to kill the immature larvae.

For protection during outbreaks of chikungunya, clothing which minimizes skin exposure to the day-biting vectors is advised. Repellents can be applied to exposed skin or to clothing in strict accordance with product label instructions. Repellents should contain DEET (N, N-diethyl-3-methylbenzamide), IR3535 (3-[N-acetyl-N-butyl]-aminopropionic acid ethyl ester) or icaridin (1-piperidinecarboxylic acid, 2-(2-hydroxyethyl)-1-methylpropylester). For those who sleep during the daytime, particularly young children, or sick or older people, insecticide treated mosquito nets afford good protection. Mosquito coils or other insecticide vaporizers may also reduce indoor biting.
Disease outbreaks

Chikungunya occurs in Africa, Asia and the Indian subcontinent. Human infections in Africa have been at relatively low levels for a number of years, but in 1999-2000 there was a large outbreak in the Democratic Republic of the Congo, and in 2007 there was an outbreak in Gabon.

Starting in February 2005, a major outbreak of chikungunya occurred in islands of the Indian Ocean. A large number of imported cases in Europe were associated with this outbreak, mostly in 2006 when the Indian Ocean epidemic was at its peak. A large outbreak of chikungunya in India occurred in 2006 and 2007. Several other countries in South-East Asia were also affected. In 2007 transmission was reported for the first time in Europe, in a localized outbreak in north-eastern Italy.
More about disease vectors

Both Ae. aegypti and Ae. albopictus have been implicated in large outbreaks of chikungunya. Whereas Ae. aegypti is confined within the tropics and sub-tropics, Ae. albopictus also occurs in temperate and even cold temperate regions. In recent decades Ae. albopictus has spread from Asia to become established in areas of Africa, Europe and the Americas.

The species Ae. albopictus thrives in a wider range of water-filled breeding sites than Ae. aegypti, including coconut husks, cocoa pods, bamboo stumps, tree holes and rock pools, in addition to artificial containers such as vehicle tyres and saucers beneath plant pots. This diversity of habitats explains the abundance of Ae. albopictus in rural as well as peri-urban areas and shady city parks. Ae. aegypti is more closely associated with human habitation and uses indoor breeding sites, including flower vases, water storage vessels and concrete water tanks in bathrooms, as well as the same artificial outdoor habitats as Ae. albopictus.

In Africa several other mosquito vectors have been implicated in disease transmission, including species of the A. furcifer-taylori group and A. luteocephalus. There is evidence that some animals, including non-primates, may act as reservoirs.

Friday 1 October 2010

PENDEKATAN KLINIK ACUTE ONSET OF FLACCID PARALYSIS

1. Pendahuluan
Diiperlukan suatu surveilans untuk menentukan apakah masih ada kasus klinik kelumpuhan karena virus polioliar. Untuk itu, dilakukan deteksi terhadap seluruh kasus yang mengalami Acute Onset of Flaccid Paralysis yang sering disebut dengan akronim AFP atau lumpuh layu Akut. AFP merupakan sindroma yang disebabkan oleh berbagai macam penyebab. Secara klinis, kasus AFP yang berat dapat dikenal dengan mudah, sedangkan kasus yang ringan lebih sulit dikenal.
2. Kelumpuhan : flasid dan spastik
Kelumpuhan adalah berkurangnya kekuatan otot untuk menggerakkan anggota badan dan kelumpuhan total disebut sebagai paralisis, sedangkan kelumpuhan parsial disebut sebagai paresis. Kekuatan otot harus ditentukan derajat kekuatannya dan menurut Lovetts digunakan skala Council sebagai berikut:
5 : kekuatan otot normal, tidak ada kelumpuhan, mampu melawan beban maksimal(Normal)
4 : kekuatan otot tersebut mampu melawan gaya gravitasi dan beban (Good)
3 : terdapat kontraksi otot yang mampu menggerakkan sendinya dan mampu melawan
gravitasinya (Fair)
2 : terdapat pergerakan sendi seluas gerak sendinya akibat kontraksi otot penggerak utama
sendi yang bersangkutan, tetapi dengan menghilangkan gaya gravitasinya (Poor)
1 : tidak ada pergerakan sendi tetapi teraba/tampak adanya kontraksi otot (Trace)
0 : tidak ada kontraksi sama sekali (Zero)
AFP adalah sindroma klinik dengan berbagai penyebab. Para klinisi harus dapat mendeteksi
kelumpuhan / kelemahanyang menjadi dasar kasus AFP

Pendekatan Klinik AFP
Pemeriksaan Manual Muscle Test [MMT] sangat bermanfaat didalam penentuan diagnosa derajat kelumpuhan apapun sebabnya.
Tonus
Tonus otot adalah tahanan muskuler ( diluar pengertian penyakit sendi dan gaya gravitasi); yang dirasakan oleh pemeriksa bila melakukan manipulasi berupa gerakan sendisecara aktif pada seorang penderita . Tonus otot dikatakan normal apabila hanya dijumpai sedikit sekali tahanan pada
seluruh pergerakan sendi. Tonus otot yang berkurang bila tahanan gerakan yang dilakukan pemeriksa berkurang. Hilangtnya tonus otot yang jelas disebut sebagai tonus otot yang
flasid atau layu. Sedangkan hipertonia dikatakan bila tahanan otot meningkat, dapat berupa spastisitas atau rigiditas.
Kelumpuhan Lower Motor Neuron
Pada AFP didapatkan kelumpuhan yang flasid; yang kita kenal sebagai kelumpuhan lower motor neuron yang disebabkan lesi mulai dari motor neuron kornu anterior sampai ke saraf perifer. Kita kenal pula kelumpuhan upper motor neuron yang disebabkan kelainan pada jaras piramidalis dari kortek motorik
sampai dengan kornu anterior medulla spinalis.
III. Manifestasi Klinis AFP
Anak anak.
Beberapa pemeriksaan dapat dilalukan untuk rnembantu
menetapkan kondisi klinik penderita:
􀂙 Dapat disertai demam atau tidak
􀂙 Dapat disertai rasa nyeri atau tidak
􀂙 Mintalah anak berjalan dan perhatikan apakah ia pincang atau tidak.
􀂙 Mintalah anak berjalan pada ujung jari dan pada tumit, anak yang mengalami kelurnpuhan tidak dapat
melakukannya.
􀂙 Mintalah anak berjongkok atau duduk dilantai, kemudian bangun kembali. Anak yang mengalami
kelumpuhan akan menunjukkan adanya tanda dari Gower yaitu rnencoba berdiri dengan
berpegangan dan merambat pada tungkainya.
􀂙 Bila anak berbaring di tempat tidur, mintalah dia mengangkat kaki kemudian menahan tungkai diudara.
Dan mintalah untuk menggerakan pergelangan kaki & jari-jari kaki, pergerakan ujung jari ke arah
kepala.
􀂙 Tungkai yang mengalami lumpuh layu mengecil. Bila tidak yakin ukurlah lingkar betis kanan dan kiri
pada ketinggian yang sama.
􀂙 Refleks lutut dan pergelangan kaki berkurang atau negative demikian juga tidak dijumpai adanya retlek
patologis.
􀂙 Kadang dapat disertai gangguan miksi dan defekasi.

Bayi
􀂙 Dapat didahului dengan demam atau tidak. Rasa nyeri sulit diketahui.
􀂙 Seringkali sulit mendeteksi apakah seorang bayi sedang mengalami kelumpuhan. Pendekatan Klinik
AFP
􀂙 Perhatikan posisi saat tidur terlentang. Bayi normal menunjukkan tingkah
dalam posisi fleksi di dan di panggul. Bayi lumpuh menunjukkan frog leg position. Tungkai terkulai
lemas dan lutut menyentuh tempat tidur.
􀂙 Perhatikan gerakan kedua tungkai. Bila terdapat kelumpuhan gerakan sisi tersebut kurang bila
Dibandingkan sisi yang sehat. Bila kelumpuhan terjadi pada kedua tungkai gerakan kedua tungkai
berkurang
􀂙 Untuk merangsang gerakan dapat digelitik pada telapak kaki atau ditusuk
perlahan dengan benda yang agak tajam misalnya pensil. Bayi yang normal akan menarik kakinya.
􀂙 Pegang kedua pergelangan dan gerakan kedua tungkai ke depan dan kebelakang. Rasakan perbedaan
ketegangan otot.
􀂙 Angkat kedua tungkai dari permukaaan tempat tidur lalu lepaskan. Bayi normal akan memperlihatkan
sedikit tahanan sebelum tungkai jatuh ketempat tidur atau bahkan dapat menahan tungkai di udara.
Pada kelumpuhan, tungkai akan jatuh ke tempat tidur tanpa tahanan.
􀂙 Lakukan uji pendulum. Pegang bayi pada ketiak dan ayunkan Bayi normal memperlihatkan gerakan
simetris tungkai disertai sedikit f1eksi lutut dan pangkal paha. Bayi yang lumpuh memperlihatkan
tungkai tergantung lemas tanpa gerakan.
􀂙 Lihatlah apakah dijumpai atrofi otot. Atrofi yang ringan sulit dilihat, gunakanlah pengukur untuk
mengukur lingkar betis pada ketinggian yang sama.
􀂙 Reflek Iutut dan pergelangan kaki berkurang atau negatif; reflek Babinsky pada bayi < 18 bulan
kadang masih timbul.
IV. Penyebab AFP
AFP dapat terjadi pada:
-Acute anterior poliomyelitis
+Disebabkan karena virus polio
+Disebabkan karena virus neurotrophik lainnya: coxsackie virus, echovirus dan enterovirus 70 dan71
-Acute myopathy
+Proses Desak Ruang:pembuntuan mielum; misalnya akibat abses paraspinal; tumor atau hematoma
+Mielopati transvesus idiopati yang akut
-Peripheral neuropathy
+Guillain Barre syndroma
+Neuropati demielinating yang akut
+Neuropati aksonal yang akut
+Pasca pemberian vaksin rabies
+Neuropati dalam perjalanan penyakit seperti difteria, rabies, Lyme, borrelios, intoksikasi logam berat,
toksin biologis
AFP dapat terjadi akibat berbagai penyakit Penyakit sistemik
+Porpiria intermiten akuta +Neuropatia pada penyakit yang kritis
-Kelainan transmisi neuron akibat
+Miastenia gravis +Gigitan ular +Botulisrne +Intoksikasi insectisida +Tick paralisa
-Kelainan otot
+Miopathia Inflamasi yang Idiopatis +Trichinosis +Hipokalemia dan hiperkalernia paralisa, termasuk familial periodic paralysa.

Wednesday 29 September 2010

Kata dan Kalimat Kunci Kegiatan Surveilan


outbreak, trends, core science of public health, Surveilans memungkinkan pengambil keputusan untuk memimpin dan mengelola dengan efektif, disease burden, Fungsi inti (core activities), epidemic type response, management type response, Fungsi pendukung (support activities), Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi kesehatan, Surveilans pasif, Surveilans aktif, reportable diseases, under-reported, case finding, community surveillance, probable cases, effective surveilans.


Monday 27 September 2010

RUBELLA

Rubella atau campak Jerman adalah penyakit yang disebabkan suatu virus RNA dari golongan Togavirus. Penyakit ini relatif tidak berbahaya dengan morbiditas dan mortalitas yang rendah pada manusia normal. Tetapi jika infeksi didapat saat kehamilan, dapat menyebabkan gangguan pada pembentukan organ dan dapat mengakibatkan kecacatan.
Sejarah Epidemi
Sebelum dilakukan imunisasi massal mulai tahun 1969, di Amerika terjadi epidemi rubella tiap 6 – 9 tahun dengan epidemi terakhir pada tahun 1964 dengan perkiraan sebanyak lebih dari 20.000 kasus sindroma rubella kongenital dan 11.000 kasus keguguran. Insidens tertinggi adalah pada umur 5 – 9 tahun sebanyak 38,5 % dari kasus pada tahun 1966-1968. Meskipun insiden rubella turun sampai 99 % antara 1966-1968, 32 % dari semua kasus terjadi pada umur 15-29 tahun. Tanpa imunisasi, 10 % - 20% populasi di Amerika dicurigai terinfeksi rubella.
Tujuan imunisasi adalah eradikasi infeksi rubella kongenital. Jumlah kasus sindroma rubella kongenital yang dilaporkan turun sampai 99 % sejak tahun 1969. Setelah penurunan yang tajam dari insiden sindroma rubella kongenital, insiden mendatar sekitar 0.05 per 100.000 kelahiran hidup selama10 tahun terakhir karena infeksi rubella tetap berlanjut pada wanita usia subur. Bila semua wanita ini telah divaksinasi (idealnya) insiden sindroma rubella kongenital pasti akan turun sampai nol.
Penyebaran

Penularan virus rubella adalah melalui udara dengan tempat masuk awal melalui nasofaring dan orofaring. Setelah masuk akan mengalami masa inkubasi antara 11 sampai 14 hari sampai timbulnya gejala. Hampir 60 % pasien akan timbul ruam.
Penyebaran virus rubella pada hasil konsepsi terutama secara hematogen. Infeksi kongenital biasanya terdiri dari 2 bagian : viremia maternal dan viremia fetal. Viremia maternal terjadi saat replikasi virus dalam sel trofoblas. Kemudian tergantung kemampuan virus untuk masuk dalam barier plasenta. Untuk dapat terjadi viremia fetal, replikasi virus harus terjadi dalam sel endotel janin. Viremia fetal dapat menyebabkan kelainan organ secara luas.
Bayi- bayi yang dilahirkan dengan rubella kongenital 90 % dapat menularkan virus yang infeksius melalui cairan tubuh selama berbulan-bulan. Dalam 6 bulan sebanyak 30 – 50 %, dan dalam 1 tahun sebanyak kurang dari 10 %. Dengan demikian bayi - bayi tersebut merupakan ancaman bagi bayi-bayi lain, disamping bagi orang dewasa yang rentan dan berhubungan dengan bayi tersebut.
Gejala klinis
Gambaran klinis infeksi rubella serupa dengan penyakit lain dan kadang-kadang tidak tampak gejala dan tanda infeksi. Pada orang dewasa mula-mula terdapat gejala prodromal berupa malaise, mialgia dan sakit kepala. Pada anak-anak sering tidak diketahui gejala prodromal ini, atau apabila ada sangat minimal. Onset dari gejala prodromal sering dilaporkan dengan munculnya limfadenopati postaurikuler, yang biasanya dilanjutkan dengan munculnya ruam setelah 6-7 hari. Bercak-bercak berupa exanthema yang khas yaitu makulo papular yang sentrifugal mulai dari dada atas, abdomen kemudian ekstremitas yang akan menghilang dalam 3 hari. Kadang-kadang timbul arthralgia yang tergantung dari virulensi virus.

Pada janin, infeksi rubella dapat menyebabkan abortus bila terjadi pada trimester I.. Mula-mula replikasi virus terjadi dalam jaringan janin, dan menetap dalam kehidupan janin, dan mempengaruhi pertumbuhan janin sehingga menimbulkan kecacatan atau kelainan yang lain.

Infeksi ibu pada trimester kedua juga dapat menyebabkan kelainan yang luas pada organ. Menetapnya virus dan dan interaksi antara virus dan sel di dalam uterus dapat menyebabkan kelainan yang luas pada periode neonatal, seperti anemia hemolitika dengan hematopoiesis ekstra meduler, hepatitis, nefritis interstitial, ensefalitis, pankreatitis interstitial dan osteomielitis.
Gejala rubella kongenital dapat dibagi dalam 3 kategori :
1. Sindroma rubella kongenital yang meliputi 4 defek utama yaitu :
a. Gangguan pendengaran tipe neurosensorik. Timbul bila infeksi terjadi sebelum umur kehamilan 8 minggu. Gejala ini dapat merupakan satu-satunya gejala yang timbul.
b. Gangguan jantung meliputi PDA, VSD dan stenosis katup pulmonal.
c. Gangguan mata : katarak dan glaukoma. Kelainan ini jarang berdiri sendiri.
d. Retardasi mental
dan beberapa kelainan lain antara lain:
e. Purpura trombositopeni ( Blueberry muffin rash )
f. Hepatosplenomegali, meningoensefalitis, pneumonitis, dan lain-lain
2. Extended – sindroma rubella kongenital.. Meliputi cerebral palsy, retardasi mental, keterlambatan pertumbuhan dan berbicara, kejang, ikterus dan gangguan imunologi ( hipogamaglobulin ).
3. Delayed - sindroma rubella kongenital. Meliputi panensefalitis, dan Diabetes Mellitus tipe-1, gangguan pada mata dan pendengaran yang baru muncul bertahun-tahun kemudian.
Diagnosis
Diagnosis infeksi rubella sangat sulit karena gejalanya yang tidak khas. Timbulnya ruam selama 2-3 hari dan adanya adenopati postaurikuler dapat sebagai diagnosis awal kecurigaan infeksi rubella, tetapi untuk diagnosis pastinya diperlukan konfirmasi serologi atau virologi. Virus rubella dapat ditemukan pada struktur jaringan yang dapat diambil dari hapusan orofaring, tetapi tindakan ini sulit dilakukan.

Antibodi rubella biasanya lebih dahulu muncul saat timbul ruam. Diagnosis rubella ditegakkan bila titer meningkat 4 kali saat fase akut, dan biasanya imunitas menetap lama. Apabila pasien diperiksa beberapa hari setelah timbul ruam, diagnosis dapat ditegakkan dengan analisis antibodi IgM anti rubella dengan menggunakan sistem ELISA. IgM spesifik rubella dapat terlihat 1 – 2 minggu setelah infeksi primer dan menetap selama 1 - 3 bulan. Adanya antibodi IgM menunjukkan adanya infeksi primer, tetapi bila negatif belum tentu tidak terinfeksi.

Diagnosis prenatal dilakukan dengan memeriksa adanya IgM dari darah janin melalui CVS ( chorionoc villus sampling ) atau kordosentesis. Konfirmasi infeksi fetus pada trimester I dilakukan dengan menemukan adanya antigen spesifik rubella dan RNA pada CVS. Metode ini adalah yang terbaik untuk isolasi virus pada hasil konsepsi.
Berdasarkan gejala klinik dan temuan serologi, sindroma rubella kongenital (CRS, Congenital Rubella Syndrome) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. CRS confirmed. Defek dan satu atau lebih tanda/ gejala berikut :
* Virus rubella yang dapat diisolasi.
* Adanya IgM spesifik rubella
* Menetapnya IgG spesifik rubella..
2. CRS compatible. Terdapat defek tetapi konfirmasi laboratorium tidak lengkap. Didapatkan 2 defek dari item a , atau masing-masing satu dari item a dan b.
a. Katarak dan/ atau glaukoma kongenital, penyakit jantung kongenital, tuli, retinopati.
1. Purpura, splenomegali, kuning, mikrosefali, retardasi mental, meningo ensefalitis, penyakit tulang radiolusen.
3. CRS possible. Defek klinis yang tidak memenuhi kriteria untuk CRS compatible.
4. CRI ( Congenital Rubella Infection ). Temuan serologi tanpa defek.
5. Stillbirths. Stillbirth yang disebabkan rubella maternal
6. Bukan CRS. Temuan hasil laboratorium tidak sesuai dengan CRS:
Tidak adanya antibodi rubella pada anak umur < 24 bulan dan pada ibu..
Kecepatan penurunan antibodi sesuai penurunan pasif dari antibodi didapat.
Pencegahan
Penanggulangan infeksi rubella adalah dengan pencegahan infeksi salah satunya dengan cara pemberian vaksinasi. Pemberian vaksinasi rubella secara subkutan dengan virus hidup rubella yang dilemahkan dapat memberikan kekebalan yang lama dan bahkan bisa seumur hidup.

Vaksin rubella dapat diberikan bagi orang dewasa terutama wanita yang tidak hamil. Vaksin rubella tidak boleh diberikan pada wanita yang hamil atau akan hamil dalam 3 bulan setelah pemberian vaksin. Hal ini karena vaksin berupa virus rubella hidup yang dilemahkan dapat berisiko menyebabkan kecacatan meskipun sangat jarang.

Tidak ada preparat kimiawi atau antibiotik yang dapat mencegah viremia pada orang-orang yang tidak kebal dan terpapar rubella. Bila didapatkan infeksi rubella dalam uterus, sebaiknya ibu diterangkan tentang risiko dari infeksi rubella kongenital. Dengan adanya kemungkinan terjadi defek yang berat dari infeksi pada trimester I, pasien dapat memilih untuk mengakhiri kehamilan, bila diagnosis dibuat secara tepat.

Saturday 25 September 2010

GUILLAIN BARRE SYNDROM

Definition

Guillain-Barre syndrome is a serious disorder that occurs when the body's defense (immune) system mistakenly attacks part of the nervous system. This leads to nerve inflammation that causes muscle weakness.
Alternative Names

Landry-Guillain-Barre syndrome; GBS; Acute idiopathic polyneuritis; Infectious polyneuritis; Acute inflammatory polyneuropathy
Causes, incidence, and risk factors

Guillain-Barre syndrome is an autoimmune disorder (the body's immune system attacks itself). Exactly what triggers Guillain-Barre syndrome is unknown. The syndrome may occur at any age, but is most common in people of both sexes between ages 30 and 50.

It often follows a minor infection, usually a lung infection or gastrointestinal infection. Usually, signs of the original infection have disappeared before the symptoms of Guillain-Barre begin.

Guillain-Barre syndrome causes inflammation that damages parts of nerves. This nerve damage causes tingling, muscle weakness, and paralysis. The inflammation usually affects the nerve's covering (myelin sheath). Such damage is called demyelination. Demyelination slows nerve signaling. Damage to other parts of the nerve can cause the nerve to stop working.

Guillain-Barre syndrome may occur along with viral infections such as:

* AIDS
* Herpes simplex
* Mononucleosis

It may also occur with other medical conditions such as systemic lupus erythematosus or Hodgkin's disease.

Some people may get Guillain-Barre syndrome after a bacterial infection or certain vaccinations (such as rabies and swine flu). A similar syndrome may occur after surgery, or when critically ill.
Symptoms

Symptoms of Guillain-Barre can get worse very quickly. It may take only a few hours to reach the most severe symptoms, but weakness increasing over several days is also common.

Muscle weakness or the loss of muscle function (paralysis) affects both sides of the body. In most cases, the muscle weakness starts in the legs and then spreads to the arms. This is called ascending paralysis.

Patients may notice tingling, foot or hand pain, and clumsiness. If the inflammation affects the nerves to the diaphragm, and there is weakness in those muscles, the person may need breathing assistance.

Typical symptoms include:

* Loss of reflexes in the arms and legs
* Muscle weakness or loss of muscle function (paralysis)
o In mild cases, there may be no weakness or paralysis
o May begin in the arms and legs at the same time
o May get worse over 24 to 72 hours
o May occur in the nerves of the head only
o May start in the arms and move downward
o May start in the feet and legs and move up to the arms and head
* Numbness, decreased sensation
* Sensation changes
* Tenderness or muscle pain (may be a cramp-like pain)
* Uncoordinated movement

Additional symptoms may include:

* Blurred vision
* Clumsiness and falling
* Difficulty moving face muscles
* Muscle contractions
* Palpitations (sensation of feeling heartbeat)

Emergency symptoms (seek immediate medical help):

* Breathing temporarily stops
* Can't take a deep breath
* Difficulty breathing
* Difficulty swallowing
* Drooling
* Fainting
* Feeling light-headed when standing

Friday 24 September 2010

INTEGRASI SURVEILAN

Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yang pada hakekatnya merupakan upaya penyelenggaraan kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional.
Penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia, disamping mulai meningkatnya masalah penyakit tidak menular. Penyakit menular tidak mengenal batas-batas daerah administratif, sehingga pemberantasan penyakit menular memerlukan kerjasama antar daerah, misalnya antar provinsi, kabupaten/kota bahkan antar negara. Beberapa penyakit menular yang menjadi masalah utama di Indonesia adalah diare, malaria, demam berdarah dengue, influenza, tifus abdominalis, penyakit saluran pencernaan dan penyakit lainnya.
Untuk melakukan upaya pemberantasan penyakit menular, penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit dan keracunan, serta penanggulangan penyakit tidak menular diperlukan suatu sistem surveilans penyakit yang mampu memberikan dukungan upaya program dalam daerah kerja Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional, dukungan kerjasama antar program dan sektor serta kerjasama antara Kabupaten/Kota, Provinsi, Nasional dan internasional.
Penyelenggaraan surveilans epidemiologi terhadap penyakit-penyakit tersebut diatas disusun dalam pedoman surveilans epidemiologi, khusus masing-masing penyakit dan pedoman surveilans epidemiologi secara rutin dan terpadu. Untuk menyelenggarakan surveilans epidemiologi penyakit menular dan penyakit tidak menular secara rutin terpadu maka secara umum bertujuan untuk meningkatkan kinerja serta terjadinya jejaring surveilan terintegrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyakit khususnya potensial wabah di Kabupaten Tasikmalaya.
Petugas dalam manajemen surveilans penyakit berpotensi KLB/wabah adalah melakukan surveilans dari pengumpulan data kesehatan, pengolahan & analisis, interpretasi serta desiminasi umpan balik dan intervensi. Maksud dan tujuan melakukan surveilans adalah (1) Mempelajari pola terjadinya penyakit yang sedang berlangsung, (2) potensi penyakit di dalam masyarakat, (3) Lebih jauh mempelajari riwayat alamiah penyakit, spektrum klinis, epidemiologi penyakit dan faktor risiko/pajanan, (4) Menyediakan data dasar sebagai perangkat dalam menilai langkah-langkah pencegahan dan pengendalian.
Tugas petugas surveilans Kabupaten adalah (1) SKD-Deteksi Dini : AI, Potensi KLB/wabah (PD3I, diare, dll), (2) Verifikasi : Komunikasi verbal & elektronik, kunjungan lapangan – penyelidikan awal, (3) Penanggulangan awal, (4) Laporan, (5) Koordinasi
Dengan Sistem Jejaring Surveilan ( Surveillans Network System), diharapkan bahawa (1) Diterima dengan baik manajemen surveilan sebagai suatu system pelayanan yang terintegrasi, (2) Memungkinkan pertukaran informasi antara surveilans Puskesmas se-Kabupatyen Tasikmalaya melalui pendekatan inovatif yang dapat diterapkan pada berbagai jenjang pelayanan (3) Perancangn untuk deteksi dini kasus yang berpotensi wabah atau KLB, (4) Pemanfaatan data yang maksimal untuk mendukung system pengambilan kebijakan , (5) Penetapan kebutuhan organisasi seperti : penyesuaian materi pelatihan, kelangsungan pembiayaan dan kemampuan kinerja petugas, dan (6) meningkatkan kerjasama dengan Linsek atau stakeholder non kesehatan sebagai bagian penting dalam jejaring surveilan.

Thursday 23 September 2010

SURVEILAN




Istilah Surveillance sudah dikenal oleh banyak orang, namun dalam aplikasinya banyak orang menganggap bahwa surveilans identik dengan pengumpulan data dan penyelidikan KLB, hal inilah yang menyebabkan aplikasi system surveilans di Indonesia belm berjalan optimal, padahal system ini dibuat cukup baik untuk mengatasi masalah kesehatan.
Istilah Surveillance sebenarnya berasal dari bahasa perancis yang berarti mengamati tentang sesuatu, Istilah ini awalnya dipakai dalam bidang penyelidikan/intelligent untuk mematamatai orang yang dicurugai, yang dapat membahayakan.

Menurut The Centers for Disease Control (CDC) Surveilans kesehatan masyarakat adalah “The ongoing systematic Collection, analysis and interpretation of Health data essential to the planning, implementation, and evaluation of public health practice, closely integrated with the timely dissemination of these data to those who need to know. The final link of the surveillance chain is the application of these data to prevention and control.

Sedangkan menurut Prof.Nur Nasry Noor (1997) :
 “Surveilans Epidemiologi adalah pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek penyakit tertentu. Baik keadaan maupun penyebarannya dalam suatu masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangannya.”

Surveilans Kesehatan masyarakat semula hanya dikenal dalam bidang epidemiologi, namun dengan berkembangnya berbagai macam teori dan aplikasi diluar bidang epidemiologi, maka surveilans menjadi cabang ilmu tersendiri yang diterapkan luas dalam kesehatan masyarakat. Surveilans sendiri mencakup masalah morbiditas, mortalitas, masalah gizi, demografi, Peny. Menular, Peny. Tidak menular, Demografi, Pelayanan Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja, dan beberapa factor risiko pada individu, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Manfaat Surveilans Epidemiologi :
1. Deteksi Perubahan akut dari penyakit yang terjadi dan distribusinya
2. Identifikasi dan perhitungan trend dan pola penyakit
3. Identifikasi kelompok risiko tinggi menurut waktu, orang dan tempat
4. Identifikasi factor risiko dan penyebab lainnya
5. Deteksi perubahan pelayanan kesehatan yang terjadi
6. Dapat memonitoring kecenderungan penyakit endemis
7. Mempelajari riwayat alamiah penyakit dan epidemiologinya
8. Memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi kebutuhan pelayanan kesehatan dimasa  
    Datang.
9. Membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas dan prioritas sasaran program pada tahap  
    Perencanaan.

Inti Kegiatan surveilan pada  akhirnya adalah bagaimana data yang sudah dikumpul, dianalisis, dan dilaporkan ke stakeholder atau pemegang kebijakan untuk ditindaklanjuti dalam pembuatan program intervensi yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah kesehatan di Indonesia.