VISI SURVEILAN DINKES TASIKMALAYA

MENJADI SDM SURVEILAN YANG PROFESIONAL DAN BERDEDIKASI TINGGI

Wednesday 29 September 2010

Kata dan Kalimat Kunci Kegiatan Surveilan


outbreak, trends, core science of public health, Surveilans memungkinkan pengambil keputusan untuk memimpin dan mengelola dengan efektif, disease burden, Fungsi inti (core activities), epidemic type response, management type response, Fungsi pendukung (support activities), Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi kesehatan, Surveilans pasif, Surveilans aktif, reportable diseases, under-reported, case finding, community surveillance, probable cases, effective surveilans.


Monday 27 September 2010

RUBELLA

Rubella atau campak Jerman adalah penyakit yang disebabkan suatu virus RNA dari golongan Togavirus. Penyakit ini relatif tidak berbahaya dengan morbiditas dan mortalitas yang rendah pada manusia normal. Tetapi jika infeksi didapat saat kehamilan, dapat menyebabkan gangguan pada pembentukan organ dan dapat mengakibatkan kecacatan.
Sejarah Epidemi
Sebelum dilakukan imunisasi massal mulai tahun 1969, di Amerika terjadi epidemi rubella tiap 6 – 9 tahun dengan epidemi terakhir pada tahun 1964 dengan perkiraan sebanyak lebih dari 20.000 kasus sindroma rubella kongenital dan 11.000 kasus keguguran. Insidens tertinggi adalah pada umur 5 – 9 tahun sebanyak 38,5 % dari kasus pada tahun 1966-1968. Meskipun insiden rubella turun sampai 99 % antara 1966-1968, 32 % dari semua kasus terjadi pada umur 15-29 tahun. Tanpa imunisasi, 10 % - 20% populasi di Amerika dicurigai terinfeksi rubella.
Tujuan imunisasi adalah eradikasi infeksi rubella kongenital. Jumlah kasus sindroma rubella kongenital yang dilaporkan turun sampai 99 % sejak tahun 1969. Setelah penurunan yang tajam dari insiden sindroma rubella kongenital, insiden mendatar sekitar 0.05 per 100.000 kelahiran hidup selama10 tahun terakhir karena infeksi rubella tetap berlanjut pada wanita usia subur. Bila semua wanita ini telah divaksinasi (idealnya) insiden sindroma rubella kongenital pasti akan turun sampai nol.
Penyebaran

Penularan virus rubella adalah melalui udara dengan tempat masuk awal melalui nasofaring dan orofaring. Setelah masuk akan mengalami masa inkubasi antara 11 sampai 14 hari sampai timbulnya gejala. Hampir 60 % pasien akan timbul ruam.
Penyebaran virus rubella pada hasil konsepsi terutama secara hematogen. Infeksi kongenital biasanya terdiri dari 2 bagian : viremia maternal dan viremia fetal. Viremia maternal terjadi saat replikasi virus dalam sel trofoblas. Kemudian tergantung kemampuan virus untuk masuk dalam barier plasenta. Untuk dapat terjadi viremia fetal, replikasi virus harus terjadi dalam sel endotel janin. Viremia fetal dapat menyebabkan kelainan organ secara luas.
Bayi- bayi yang dilahirkan dengan rubella kongenital 90 % dapat menularkan virus yang infeksius melalui cairan tubuh selama berbulan-bulan. Dalam 6 bulan sebanyak 30 – 50 %, dan dalam 1 tahun sebanyak kurang dari 10 %. Dengan demikian bayi - bayi tersebut merupakan ancaman bagi bayi-bayi lain, disamping bagi orang dewasa yang rentan dan berhubungan dengan bayi tersebut.
Gejala klinis
Gambaran klinis infeksi rubella serupa dengan penyakit lain dan kadang-kadang tidak tampak gejala dan tanda infeksi. Pada orang dewasa mula-mula terdapat gejala prodromal berupa malaise, mialgia dan sakit kepala. Pada anak-anak sering tidak diketahui gejala prodromal ini, atau apabila ada sangat minimal. Onset dari gejala prodromal sering dilaporkan dengan munculnya limfadenopati postaurikuler, yang biasanya dilanjutkan dengan munculnya ruam setelah 6-7 hari. Bercak-bercak berupa exanthema yang khas yaitu makulo papular yang sentrifugal mulai dari dada atas, abdomen kemudian ekstremitas yang akan menghilang dalam 3 hari. Kadang-kadang timbul arthralgia yang tergantung dari virulensi virus.

Pada janin, infeksi rubella dapat menyebabkan abortus bila terjadi pada trimester I.. Mula-mula replikasi virus terjadi dalam jaringan janin, dan menetap dalam kehidupan janin, dan mempengaruhi pertumbuhan janin sehingga menimbulkan kecacatan atau kelainan yang lain.

Infeksi ibu pada trimester kedua juga dapat menyebabkan kelainan yang luas pada organ. Menetapnya virus dan dan interaksi antara virus dan sel di dalam uterus dapat menyebabkan kelainan yang luas pada periode neonatal, seperti anemia hemolitika dengan hematopoiesis ekstra meduler, hepatitis, nefritis interstitial, ensefalitis, pankreatitis interstitial dan osteomielitis.
Gejala rubella kongenital dapat dibagi dalam 3 kategori :
1. Sindroma rubella kongenital yang meliputi 4 defek utama yaitu :
a. Gangguan pendengaran tipe neurosensorik. Timbul bila infeksi terjadi sebelum umur kehamilan 8 minggu. Gejala ini dapat merupakan satu-satunya gejala yang timbul.
b. Gangguan jantung meliputi PDA, VSD dan stenosis katup pulmonal.
c. Gangguan mata : katarak dan glaukoma. Kelainan ini jarang berdiri sendiri.
d. Retardasi mental
dan beberapa kelainan lain antara lain:
e. Purpura trombositopeni ( Blueberry muffin rash )
f. Hepatosplenomegali, meningoensefalitis, pneumonitis, dan lain-lain
2. Extended – sindroma rubella kongenital.. Meliputi cerebral palsy, retardasi mental, keterlambatan pertumbuhan dan berbicara, kejang, ikterus dan gangguan imunologi ( hipogamaglobulin ).
3. Delayed - sindroma rubella kongenital. Meliputi panensefalitis, dan Diabetes Mellitus tipe-1, gangguan pada mata dan pendengaran yang baru muncul bertahun-tahun kemudian.
Diagnosis
Diagnosis infeksi rubella sangat sulit karena gejalanya yang tidak khas. Timbulnya ruam selama 2-3 hari dan adanya adenopati postaurikuler dapat sebagai diagnosis awal kecurigaan infeksi rubella, tetapi untuk diagnosis pastinya diperlukan konfirmasi serologi atau virologi. Virus rubella dapat ditemukan pada struktur jaringan yang dapat diambil dari hapusan orofaring, tetapi tindakan ini sulit dilakukan.

Antibodi rubella biasanya lebih dahulu muncul saat timbul ruam. Diagnosis rubella ditegakkan bila titer meningkat 4 kali saat fase akut, dan biasanya imunitas menetap lama. Apabila pasien diperiksa beberapa hari setelah timbul ruam, diagnosis dapat ditegakkan dengan analisis antibodi IgM anti rubella dengan menggunakan sistem ELISA. IgM spesifik rubella dapat terlihat 1 – 2 minggu setelah infeksi primer dan menetap selama 1 - 3 bulan. Adanya antibodi IgM menunjukkan adanya infeksi primer, tetapi bila negatif belum tentu tidak terinfeksi.

Diagnosis prenatal dilakukan dengan memeriksa adanya IgM dari darah janin melalui CVS ( chorionoc villus sampling ) atau kordosentesis. Konfirmasi infeksi fetus pada trimester I dilakukan dengan menemukan adanya antigen spesifik rubella dan RNA pada CVS. Metode ini adalah yang terbaik untuk isolasi virus pada hasil konsepsi.
Berdasarkan gejala klinik dan temuan serologi, sindroma rubella kongenital (CRS, Congenital Rubella Syndrome) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. CRS confirmed. Defek dan satu atau lebih tanda/ gejala berikut :
* Virus rubella yang dapat diisolasi.
* Adanya IgM spesifik rubella
* Menetapnya IgG spesifik rubella..
2. CRS compatible. Terdapat defek tetapi konfirmasi laboratorium tidak lengkap. Didapatkan 2 defek dari item a , atau masing-masing satu dari item a dan b.
a. Katarak dan/ atau glaukoma kongenital, penyakit jantung kongenital, tuli, retinopati.
1. Purpura, splenomegali, kuning, mikrosefali, retardasi mental, meningo ensefalitis, penyakit tulang radiolusen.
3. CRS possible. Defek klinis yang tidak memenuhi kriteria untuk CRS compatible.
4. CRI ( Congenital Rubella Infection ). Temuan serologi tanpa defek.
5. Stillbirths. Stillbirth yang disebabkan rubella maternal
6. Bukan CRS. Temuan hasil laboratorium tidak sesuai dengan CRS:
Tidak adanya antibodi rubella pada anak umur < 24 bulan dan pada ibu..
Kecepatan penurunan antibodi sesuai penurunan pasif dari antibodi didapat.
Pencegahan
Penanggulangan infeksi rubella adalah dengan pencegahan infeksi salah satunya dengan cara pemberian vaksinasi. Pemberian vaksinasi rubella secara subkutan dengan virus hidup rubella yang dilemahkan dapat memberikan kekebalan yang lama dan bahkan bisa seumur hidup.

Vaksin rubella dapat diberikan bagi orang dewasa terutama wanita yang tidak hamil. Vaksin rubella tidak boleh diberikan pada wanita yang hamil atau akan hamil dalam 3 bulan setelah pemberian vaksin. Hal ini karena vaksin berupa virus rubella hidup yang dilemahkan dapat berisiko menyebabkan kecacatan meskipun sangat jarang.

Tidak ada preparat kimiawi atau antibiotik yang dapat mencegah viremia pada orang-orang yang tidak kebal dan terpapar rubella. Bila didapatkan infeksi rubella dalam uterus, sebaiknya ibu diterangkan tentang risiko dari infeksi rubella kongenital. Dengan adanya kemungkinan terjadi defek yang berat dari infeksi pada trimester I, pasien dapat memilih untuk mengakhiri kehamilan, bila diagnosis dibuat secara tepat.

Saturday 25 September 2010

GUILLAIN BARRE SYNDROM

Definition

Guillain-Barre syndrome is a serious disorder that occurs when the body's defense (immune) system mistakenly attacks part of the nervous system. This leads to nerve inflammation that causes muscle weakness.
Alternative Names

Landry-Guillain-Barre syndrome; GBS; Acute idiopathic polyneuritis; Infectious polyneuritis; Acute inflammatory polyneuropathy
Causes, incidence, and risk factors

Guillain-Barre syndrome is an autoimmune disorder (the body's immune system attacks itself). Exactly what triggers Guillain-Barre syndrome is unknown. The syndrome may occur at any age, but is most common in people of both sexes between ages 30 and 50.

It often follows a minor infection, usually a lung infection or gastrointestinal infection. Usually, signs of the original infection have disappeared before the symptoms of Guillain-Barre begin.

Guillain-Barre syndrome causes inflammation that damages parts of nerves. This nerve damage causes tingling, muscle weakness, and paralysis. The inflammation usually affects the nerve's covering (myelin sheath). Such damage is called demyelination. Demyelination slows nerve signaling. Damage to other parts of the nerve can cause the nerve to stop working.

Guillain-Barre syndrome may occur along with viral infections such as:

* AIDS
* Herpes simplex
* Mononucleosis

It may also occur with other medical conditions such as systemic lupus erythematosus or Hodgkin's disease.

Some people may get Guillain-Barre syndrome after a bacterial infection or certain vaccinations (such as rabies and swine flu). A similar syndrome may occur after surgery, or when critically ill.
Symptoms

Symptoms of Guillain-Barre can get worse very quickly. It may take only a few hours to reach the most severe symptoms, but weakness increasing over several days is also common.

Muscle weakness or the loss of muscle function (paralysis) affects both sides of the body. In most cases, the muscle weakness starts in the legs and then spreads to the arms. This is called ascending paralysis.

Patients may notice tingling, foot or hand pain, and clumsiness. If the inflammation affects the nerves to the diaphragm, and there is weakness in those muscles, the person may need breathing assistance.

Typical symptoms include:

* Loss of reflexes in the arms and legs
* Muscle weakness or loss of muscle function (paralysis)
o In mild cases, there may be no weakness or paralysis
o May begin in the arms and legs at the same time
o May get worse over 24 to 72 hours
o May occur in the nerves of the head only
o May start in the arms and move downward
o May start in the feet and legs and move up to the arms and head
* Numbness, decreased sensation
* Sensation changes
* Tenderness or muscle pain (may be a cramp-like pain)
* Uncoordinated movement

Additional symptoms may include:

* Blurred vision
* Clumsiness and falling
* Difficulty moving face muscles
* Muscle contractions
* Palpitations (sensation of feeling heartbeat)

Emergency symptoms (seek immediate medical help):

* Breathing temporarily stops
* Can't take a deep breath
* Difficulty breathing
* Difficulty swallowing
* Drooling
* Fainting
* Feeling light-headed when standing

Friday 24 September 2010

INTEGRASI SURVEILAN

Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yang pada hakekatnya merupakan upaya penyelenggaraan kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional.
Penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia, disamping mulai meningkatnya masalah penyakit tidak menular. Penyakit menular tidak mengenal batas-batas daerah administratif, sehingga pemberantasan penyakit menular memerlukan kerjasama antar daerah, misalnya antar provinsi, kabupaten/kota bahkan antar negara. Beberapa penyakit menular yang menjadi masalah utama di Indonesia adalah diare, malaria, demam berdarah dengue, influenza, tifus abdominalis, penyakit saluran pencernaan dan penyakit lainnya.
Untuk melakukan upaya pemberantasan penyakit menular, penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit dan keracunan, serta penanggulangan penyakit tidak menular diperlukan suatu sistem surveilans penyakit yang mampu memberikan dukungan upaya program dalam daerah kerja Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional, dukungan kerjasama antar program dan sektor serta kerjasama antara Kabupaten/Kota, Provinsi, Nasional dan internasional.
Penyelenggaraan surveilans epidemiologi terhadap penyakit-penyakit tersebut diatas disusun dalam pedoman surveilans epidemiologi, khusus masing-masing penyakit dan pedoman surveilans epidemiologi secara rutin dan terpadu. Untuk menyelenggarakan surveilans epidemiologi penyakit menular dan penyakit tidak menular secara rutin terpadu maka secara umum bertujuan untuk meningkatkan kinerja serta terjadinya jejaring surveilan terintegrasi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyakit khususnya potensial wabah di Kabupaten Tasikmalaya.
Petugas dalam manajemen surveilans penyakit berpotensi KLB/wabah adalah melakukan surveilans dari pengumpulan data kesehatan, pengolahan & analisis, interpretasi serta desiminasi umpan balik dan intervensi. Maksud dan tujuan melakukan surveilans adalah (1) Mempelajari pola terjadinya penyakit yang sedang berlangsung, (2) potensi penyakit di dalam masyarakat, (3) Lebih jauh mempelajari riwayat alamiah penyakit, spektrum klinis, epidemiologi penyakit dan faktor risiko/pajanan, (4) Menyediakan data dasar sebagai perangkat dalam menilai langkah-langkah pencegahan dan pengendalian.
Tugas petugas surveilans Kabupaten adalah (1) SKD-Deteksi Dini : AI, Potensi KLB/wabah (PD3I, diare, dll), (2) Verifikasi : Komunikasi verbal & elektronik, kunjungan lapangan – penyelidikan awal, (3) Penanggulangan awal, (4) Laporan, (5) Koordinasi
Dengan Sistem Jejaring Surveilan ( Surveillans Network System), diharapkan bahawa (1) Diterima dengan baik manajemen surveilan sebagai suatu system pelayanan yang terintegrasi, (2) Memungkinkan pertukaran informasi antara surveilans Puskesmas se-Kabupatyen Tasikmalaya melalui pendekatan inovatif yang dapat diterapkan pada berbagai jenjang pelayanan (3) Perancangn untuk deteksi dini kasus yang berpotensi wabah atau KLB, (4) Pemanfaatan data yang maksimal untuk mendukung system pengambilan kebijakan , (5) Penetapan kebutuhan organisasi seperti : penyesuaian materi pelatihan, kelangsungan pembiayaan dan kemampuan kinerja petugas, dan (6) meningkatkan kerjasama dengan Linsek atau stakeholder non kesehatan sebagai bagian penting dalam jejaring surveilan.

Thursday 23 September 2010

SURVEILAN




Istilah Surveillance sudah dikenal oleh banyak orang, namun dalam aplikasinya banyak orang menganggap bahwa surveilans identik dengan pengumpulan data dan penyelidikan KLB, hal inilah yang menyebabkan aplikasi system surveilans di Indonesia belm berjalan optimal, padahal system ini dibuat cukup baik untuk mengatasi masalah kesehatan.
Istilah Surveillance sebenarnya berasal dari bahasa perancis yang berarti mengamati tentang sesuatu, Istilah ini awalnya dipakai dalam bidang penyelidikan/intelligent untuk mematamatai orang yang dicurugai, yang dapat membahayakan.

Menurut The Centers for Disease Control (CDC) Surveilans kesehatan masyarakat adalah “The ongoing systematic Collection, analysis and interpretation of Health data essential to the planning, implementation, and evaluation of public health practice, closely integrated with the timely dissemination of these data to those who need to know. The final link of the surveillance chain is the application of these data to prevention and control.

Sedangkan menurut Prof.Nur Nasry Noor (1997) :
 “Surveilans Epidemiologi adalah pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek penyakit tertentu. Baik keadaan maupun penyebarannya dalam suatu masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangannya.”

Surveilans Kesehatan masyarakat semula hanya dikenal dalam bidang epidemiologi, namun dengan berkembangnya berbagai macam teori dan aplikasi diluar bidang epidemiologi, maka surveilans menjadi cabang ilmu tersendiri yang diterapkan luas dalam kesehatan masyarakat. Surveilans sendiri mencakup masalah morbiditas, mortalitas, masalah gizi, demografi, Peny. Menular, Peny. Tidak menular, Demografi, Pelayanan Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Kerja, dan beberapa factor risiko pada individu, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Manfaat Surveilans Epidemiologi :
1. Deteksi Perubahan akut dari penyakit yang terjadi dan distribusinya
2. Identifikasi dan perhitungan trend dan pola penyakit
3. Identifikasi kelompok risiko tinggi menurut waktu, orang dan tempat
4. Identifikasi factor risiko dan penyebab lainnya
5. Deteksi perubahan pelayanan kesehatan yang terjadi
6. Dapat memonitoring kecenderungan penyakit endemis
7. Mempelajari riwayat alamiah penyakit dan epidemiologinya
8. Memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi kebutuhan pelayanan kesehatan dimasa  
    Datang.
9. Membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas dan prioritas sasaran program pada tahap  
    Perencanaan.

Inti Kegiatan surveilan pada  akhirnya adalah bagaimana data yang sudah dikumpul, dianalisis, dan dilaporkan ke stakeholder atau pemegang kebijakan untuk ditindaklanjuti dalam pembuatan program intervensi yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah kesehatan di Indonesia.